Ksatria Jawa itu Telah Pergi
Minggu (27/1/08) sore sekira pukul 15 WITA inbox di e-mailku menerima News Alert dari The Newyork Times. Isinya sungguh membuat terperanjat, untuk ukuran orang indonesia, kalimat dalam News Alert itu terasa menampar muka. " Suharto of Indonesia, dictatorist of 32 years ................. brutal and corrupt..." entah apalagi, tidak menyenangkan kedengarnnya maka segeralah kuhapus e-mail itu.
Entah tengah larut mendengar lagu gugur bunga di televisi pada saat itu, atau memang bahasa yang vulgar, yang membuat rasa kemausiaan agak terusik.
Pak Harto, tokoh yang memulai naik ke tampuk kekuasaan dengan cara yang kontroversial, yang kita kenal sebagai sosok manusia jawa yang tenang murah senyum dan penuh wibawa.
Carut marut Demokrasi yang berembel-embel Demokrasi Pancasila memakan begitu banyak korban sejak Kudeta Gagal PKI Tahun 1965, Peristiwa Demontrasi Berdarah Lima Belas Januari 1974 ( Malari), pendudukan Timor Timur sampai Tragedy Semanggi yang mengantarkan Pak Harto ke akhir kepemimpinananya.
Bagi sebagian Rakyat Indonesia pak Harto adalah Bapak Pembangunan yang bicaranya selalu kena sasaran setiap acara dialog dengan Rakyat, menyediakan pangan murah dan pekerjaan mudah. Bapak yang selalu menggunakan bahasa Bahasa Indonesia bila bicara dengan pemimpin dunia. Konon ini berkaitan dengan harga diri bangsa dan agar orang asing mau memahami bahasa dari bangsa besar di Asia Tenggara. Sebagian lagi nasibnya tidak jelas karena bersebarangan dalam haluan politik.
Pengelolaan Pemerintahan era Pak Harto memang mempunyai problem dan tantangan yang amat berat serta merata diseluruh wilayah Indonesia. Mulai inflasi yang mencapai enam ratus persen, produktivitas nasional rendah dan pengangguran berlimpah. Ancaman perpecahan dan pembangunan tidak bergerak. Sementara bangsa yang terserak dalam ribuan suku dan kesenjangan antar wilayah yang mencolok menuntut satu penyelesaian one for all.
Dengan latar belakang militer, dapat dimaklumi kalau kemudian yang dilakukan Pak Harto adalah pendekatan militer yang keras dan represif.
Dalam bidang ekonomi yang awalnya berjalan mulus akhirnya terjebak pada utang luar negeri yang salah alokasi dalam penggunaanya hingga ekonomi tumbuh tapi tidak berkembang.
Sebagai Orang Jawa Pak Harto amat menarik, belialu selalu menekankan perluanya memahami dan menjunjung tinggi falsafah jawa seperti :
MIKUL DHUWUR MENDEM JERO, kira - kira maksudnya adalah melakukan tugas secara total tidak setengah-setengah.
NGLURUG TANPA BALA MENANG TANPA NAGASORAKE, mengutamakan diplomasi , memenangkannya dengan fair sehingga musuh tidak merasa direndahkan.
Tetapi harga yang harus dibayar sungguh teramat mahal, warisan kerusakan tatanan akibat suburnya korupsi masa silam. Euforia politik yang tak terkendali akibat 32 tahun tertekan dan bangsa yang terbiasa disediakan ( tidak mandiri). Setelah krisis 1998 segera Indonesia menjadi bangsa yang harus mengharap belas kasihan dunia.
Jutaan orang meratapi kepergian Sang Jenderal Besar. Inikah tanda bahwa kekerasan dan diktatorisme yang dikembangkan masih lebih terasa sejahtera daripada demorasi dengan rasa lapar?
Pada saat bangsa ini sulit menemukan kembali rasa percaya dirinya, marilah kita kembali belajar memahami keadaan.
Entah tengah larut mendengar lagu gugur bunga di televisi pada saat itu, atau memang bahasa yang vulgar, yang membuat rasa kemausiaan agak terusik.
Pak Harto, tokoh yang memulai naik ke tampuk kekuasaan dengan cara yang kontroversial, yang kita kenal sebagai sosok manusia jawa yang tenang murah senyum dan penuh wibawa.
Carut marut Demokrasi yang berembel-embel Demokrasi Pancasila memakan begitu banyak korban sejak Kudeta Gagal PKI Tahun 1965, Peristiwa Demontrasi Berdarah Lima Belas Januari 1974 ( Malari), pendudukan Timor Timur sampai Tragedy Semanggi yang mengantarkan Pak Harto ke akhir kepemimpinananya.
Bagi sebagian Rakyat Indonesia pak Harto adalah Bapak Pembangunan yang bicaranya selalu kena sasaran setiap acara dialog dengan Rakyat, menyediakan pangan murah dan pekerjaan mudah. Bapak yang selalu menggunakan bahasa Bahasa Indonesia bila bicara dengan pemimpin dunia. Konon ini berkaitan dengan harga diri bangsa dan agar orang asing mau memahami bahasa dari bangsa besar di Asia Tenggara. Sebagian lagi nasibnya tidak jelas karena bersebarangan dalam haluan politik.
Pengelolaan Pemerintahan era Pak Harto memang mempunyai problem dan tantangan yang amat berat serta merata diseluruh wilayah Indonesia. Mulai inflasi yang mencapai enam ratus persen, produktivitas nasional rendah dan pengangguran berlimpah. Ancaman perpecahan dan pembangunan tidak bergerak. Sementara bangsa yang terserak dalam ribuan suku dan kesenjangan antar wilayah yang mencolok menuntut satu penyelesaian one for all.
Dengan latar belakang militer, dapat dimaklumi kalau kemudian yang dilakukan Pak Harto adalah pendekatan militer yang keras dan represif.
Dalam bidang ekonomi yang awalnya berjalan mulus akhirnya terjebak pada utang luar negeri yang salah alokasi dalam penggunaanya hingga ekonomi tumbuh tapi tidak berkembang.
Sebagai Orang Jawa Pak Harto amat menarik, belialu selalu menekankan perluanya memahami dan menjunjung tinggi falsafah jawa seperti :
MIKUL DHUWUR MENDEM JERO, kira - kira maksudnya adalah melakukan tugas secara total tidak setengah-setengah.
NGLURUG TANPA BALA MENANG TANPA NAGASORAKE, mengutamakan diplomasi , memenangkannya dengan fair sehingga musuh tidak merasa direndahkan.
Tetapi harga yang harus dibayar sungguh teramat mahal, warisan kerusakan tatanan akibat suburnya korupsi masa silam. Euforia politik yang tak terkendali akibat 32 tahun tertekan dan bangsa yang terbiasa disediakan ( tidak mandiri). Setelah krisis 1998 segera Indonesia menjadi bangsa yang harus mengharap belas kasihan dunia.
Jutaan orang meratapi kepergian Sang Jenderal Besar. Inikah tanda bahwa kekerasan dan diktatorisme yang dikembangkan masih lebih terasa sejahtera daripada demorasi dengan rasa lapar?
Pada saat bangsa ini sulit menemukan kembali rasa percaya dirinya, marilah kita kembali belajar memahami keadaan.
Comments
(gudegsambel.blogspot.com)