INDUSTRI KILANG KAYU, MENGHITUNG HARI?


Industri Kilang Kayu di Indonesia benar-benar sedang bernyanyi. “Menghitung Hari” seperti dipopulerkan Kris Dayanti. Dalam waktu tidak lama mereka agaknya akan segera gulung tikar.

Tamparan paling dahsyat tahun 2008 ini khususnya di Banjarmasin sebagai salah satu sentra Inustri Kilang Kayu terbesar di Pulau Kalimantan,menurut praktisi Industri Perkayuan ini adalah mencakup dua hal pokok, yakni :
a). Kebijakan pemerintah menaikkan kembali harga bahan bakan minyak (solar)
untuk Industri;
b). Kebijakan Pemerintah Daerah menaikkan Upah Minimum Provinsi

Sejatinya krisis Industri Kayu di Kalimantan Selatan maupun Indonesia pada umumnya telah dimulai sejak pertengahan dasawarsa sembilan puluhan. Merosotnya produksi kayu dari hutan alam dan terlanjur ekspansifnya industri pengolahan kayu yang kurang efisien menjadi faktor utama penyebab krisis ini.

Arus globalisasi yang menuntut efisiensi dan output berupa produk yang kompetetitf menjadi penyebab kelemahan berikutnya. Pengelolaan Eksploitasi Sumberdaya Hutan sebagai pemasok bahan baku dilakukan agak serampangan. aspek kelestarian dan pengawasan yang lemah memperburuk keadaan. Buntutnya adalah eksploitasi tak terkendali dan illegal logging. Sementara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok – pokok Kehutanan yang dianggap sebagai pangkal pemanfaatan hutan yang berlebihan ( melalui pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan kepada Pemodal dalam dan luar negeri) baru diganti tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan, namun kerusakan yang sudah terlanjur parah sulit diredam sampai sekarang. Degaradasi hutan konon mencapai 1,6 Juta Ha per tahun, sedangkan industri berbahan baku kayu sebagian besar telah gulung tikar dan sebagian kecil sedang menghitung hari untuk menutup usahanya. Di lain pihak operasi illegal logging yang dipayungi Inpres No 4 ditengarai menjadi lahan pungli baru bagi aparat penegak hukum.
Bagaimana tidak, proses pemenuhan bahan baku ( kayu bulat) lebih banyak melibatkan aparat penegak hukum, dari pada mekanisme layaknya perdagangan komoditi yang normal. Akibatnya sudah barang tentu highcost economy, dan terganggunya proses produksi yang bermuara pada daya saing.

Sementara China dapat melempar produk plywood dengan harga dibawah 400 US $ per kubik dipasar international, Indonesia berkutat dengan urusan menurunkan biaya produksi yang terus membengkak. Entah sampai kapan...

Revitalisasi Industri Kehutanan yang dicanangkan hampir dua tahun lalu oleh Presiden SBY saat ini entah dimana dan dalam tahap apa, tidak jelas benar. Jika ditilik lebih dalam yang terjadi saat ini adalah kondisi yang tengah menggiring sektor untuk menempatkan kondisi sebagai berikut :
a). Produk Hasil Hutan khususnya kayu menjadi komoditi restricted, layaknya
Narkotika
b). Gagalnya pemberantasan illegal logging

Agaknya perlu dilakukan sekarang, secara total mengerahkan kemampuan untuk mempromosikan Industri Kehutanan bukan hanya pada komoditi kayu. Ada banyak aspek yang dapat memanusiakan selain mengejar rente dan kapitalisasi. Budaya dan lingkungan pun potensial untuk dikembangkan dan laku dijual. Bukankah restoran Jepang tidak hanya menjual shabu-shabu dan sashimi. Disana ada juga cara makan dengan sumpit, duduk di atas tatami dan suasana asli yang coba dihadirkan?. Terasa lebih Jepang dan kita bayar mahal untuk itu...Kenapa tidak dicoba dengan yang kita punya?

Comments

Popular posts from this blog

PULAI, TUMBUHAN OBAT DARI HUTAN

SAATNYA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN BERPERAN

CATATAN YANG TERSERAK