KONSERVASI TANAH, MEMANG TIDAK MURAH

Oleh : MUNANDAR

 
Peran Pemerintah masih dominan
Daerah beriklim tropis sangat rentan oleh bahaya longsor dan erosi. Di daerah beriklim basah seperti Indonesia,  peristiwa erosi sebagian besar disebabkan oleh air (Arsyad, 1989). Secara teori erosi adalah berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Dampak yang terjadi akibat erosi  oleh air dapat meliputi dua area; area sumber kejadian erosi (hulu) dan area dibawahnya (hilir). Dampak bisa berupa; kemunduran produktivitas tanah, berkurangnya aliran air sungai, kotornya sumber air untuk minum dan keperluan rumah tangga, meningkatnya bahaya banjir baik frekuensi maupun volumenya, pendangkalan pada waduk. Dapat dipahami bahwa pengendalian erosi menjadi  aspek penting dalam usaha konservasi tanah dan air. Praktek konservasi tanah dan air di Indonesia sejatinya telah dimulai pada tahun 1966 sebagai respon terhadap terjadinya banjir Sungai Bengawan Solo (Priyono et Savitri, 2001). Kegiatan konservasi tersebut meliputi konservasi tanah secara vegetatif dan mekanis yang dikenal dengan nama Penghijauan dan Reboisasi. Kegiatan ini menjadi cikal bakal upaya konservasi tanah yang dikenal luas saat ini dan menelan banyak biaya sebagai Gerakan Penghijauan, kemudian terakhir Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemerintah selalu menjadi inisiator utama dalam praktek konservasi tanah dan air

Hingga saat ini upaya konservasi tanah tanah dan air masih  dianggap sebagai  tindakan yang tidak populer dan kurang diminati. Hal ini agaknya disebabkan karena tindakan konservasi tanah tidak berkait langsung dengan peningkatan produksi.  Pengguna lahan menganggap upaya ini hanya memperbesar biaya. Fakta lain menyebutkan petani  tidak cukup modal untuk melakukan teknik-teknik konservasi tanah dan air. Inisiatif pemerintah (pusat dan daerah) melalui kegiatan yang dianggarkan melalui APBN dan APBD menyebabkan pengguna lahan terlibat dalam kegiatan konservasi tanah dan air. Pada pertengahan  dekade  1990  Departemen Kehutanan menyalurkan Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS) untuk Kalimantan Selatan terpusat di Kabupaten Banjar dan Tapin. Sampai saat ini tidak tempak bekas upaya konservasinya  dan bahkan kreditnya pun macet. Data lahan kritis Kalimantan Selatan pada menurut  hasil survey IPB (1983) sejumlah kurang lebih 500.000 hektar, saat ini data lahan kritis yang diakui oleh kalangan pemerintah telah menjadi 761.000 hektar.
Tidak Murah
Banyaknya sumberdaya yang telah dialokasikan untuk upaya konservasi tanah dan air pada hampir semua wilayah di tanah air belum menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan. Banjir masih kerap terjadi, lahan kritis diberbagai wilayah tidak menunjukkan penurunan malah menunjukkan peningkatan. Perlu adanya akses yang sistematis untuk melakukan teknik konservasi tanah dan air pada wilayah yang tepat dengan tindakan yang tepat pula. Hal ini bisa dimungkinkan jika tersedia informasi yang memadai menyangkut tingkat bahaya erosi, potensi erosi dan di wilayah mana daerah tersebut. 
Pelaksanaan upaya konservasi tanah dan air erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan hidup. Aspek sosial ekonomi ekologi bahkan politik bisa menjadi muatan yang menyebabkan permasalahan konservasi tanah dan air menjadi sangat kompleks.Berbagai perma salahan yang ditemui dilapangan dapat diidentifikasi sebagai berikut :
a.     Sebagian besar masyarakat pengguna lahan belum swadaya melaksanakan konservasi tanah dan air;
b.       Teknik konservasi tanah dan air tidak serta merta menaikkan produksi pertanian;
c.       Sistem informasi Konservasi Tanah dan Air belum memadai

Comments

Popular posts from this blog

PULAI, TUMBUHAN OBAT DARI HUTAN

SAATNYA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN BERPERAN

CATATAN YANG TERSERAK