Obat Mujarab untuk Krisis Industri Kayu dan Global Warming, adakah?
Pemanasan Global menjadi Agenda pokok Negara Industri dan Negara terkebelakang untuk saling membantu mencari pemecahan. Tidak apat disangkal bahwa Negara-negara Industri menjadi produsen utama carbon dioksida , sedangkan Negara berkembang dituding sebagai penyebab utama lenyapnya hutan yang menjadi paru-paru dunia. Negara berkembang selalu di pihak yang kalah bahkan hanya sekedar untuk menyambung hidup dan membayar utang kepada Negara Maju. Ironis memang.
Di Negeri kita, Indonesia, krisis berkepanjangan sejak 1997 telah menghempaskan bangsa ini hingga ke titik nadir. Hampir seluruh sendi kehidupan tidak dapat berkelit dari badai ini tak terkecuali Kehutanan. Sektor yang penah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional dan andalan ekspor non migas selama hampir tiga puluh tahun, semakin merosot kontribusinya. Keinginan mengembalikan posisi penting itu yang mendasari upaya Departemen Kehutanan mengambil langkah Restrukturisasi atau Revitalisasi Kehutanan. Sebelumnya SBY telah mencanangkan Revitalisasi Sektor Pertanian Perikanan dan Kehutanan pada 11 Juni 2007.
Tidak terbantahkan pentingnya Revitalisasi Sektor Kehutanan khususnya industri kehutanan. Kembalinya kondisi sebagai pendukung utama perekonomian nasional memang semestinya harus menjadi tekad bersama. MS Kaban menyatakan bahwa Revitalisasi Sektor Kehutanan akan menyangkut; Pengembangan hutan tanaman , Pengembangan Hasil Hutan Non kayu dan Jasa Lingkungan. Harapan besar dari program prioritas ini adalah mewujudkan Industri perkayuan yang produktif, efisien, ramah lingkungan, berdaya saing tinggi di pasar global serta lebih penting lagi ; sumberdaya hutan yang lestari.
Pembangunan Hutan Tanaman yang didasari kemitraan Industri dan masyarakat, memangkas penggunaan kayu hutan alam sebagai pemasok bahan baku utama industri perkayuan, meningkatkan pemanfaatan hasil hutan non kayu serta ecotourism agaknya menjadi pilar Revitalisasi Sektor Kehutanan. Andaikan seluruh pilar model Kaban ini berhasil, maka Indonesia akan mempunyai prasyarat yang memadai untuk Revitalisasi Industri Kehutanan. Bahan baku tersedia, Bidang Usaha Sektor Kehutanan tidak melulu kilang kayu, kelembagaan ada, investor antri, sungguh menjanjikan !. Mencermati hal tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa pelaksanaan pilar- pilar terbut pada intinya menyangkut faktor investasi, pasar, ekonomi serta politik.
Bukan Obat Mujarab
Adalah kekeliruan besar, jika kita menganggap Revitalisasi Industri akan menjadi obat mujarab untuk menyehatkan seluruh kinerja Industri Kayu di Indonesia. Alangkah bijaksananya, andaikan kita dengan rendah hati belajar pada kaidah ; different post for different purpose ( dalam bidang ekonomi), satu obat untuk satu keluhan (kedokteran) dan entah apa lagi. Jadi, tidak ada solusi one for all. Permasalahan yang kompleks dalam Industri Kehutanan menghendaki macam-macam terapi sesuai gejala yang muncul.
Penyehatan Industri Kehutanan yang telah telanjur terpuruk , tentunya menghendaki macam-macam obat sesuai masalah yang pokoknya. Ada beberapa aspek pokok yang mendesak disehatkan paling tidak menyangkut; aspek internal dan eksternal. Aspek Internal yang melekat dan berada dalam kontrol perusahaan ; effiensi, diversifikasi , manajemen. Aspek Eksternal yang berada dalam kontrol pemerintah dan sistem pasar yang tengah berlaku; potensi sumber bahan baku, peraturan perundangan dan layanan pemerintah serta kondisi pasar lokal, regional dan global. Jelaslah, untuk menyehatkan Industri Kehutanan, Departemen Kehutanan mestinya jangan memaksakan diri bersolo karir , mesti bekerja bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait yang lintas sektoral. Pihak –pihak itu harus menyumbangkan obatnya.
Beberapa alternatif dapat dikemukakan disini, terutama yang ada dalam domain pemerintah adalah; bagaimana memberikan insentif bagi kelanjutan pembangunan hutan tanaman dan pelaku usaha industri yang telah memenuhi kriteria tidak terlibat illegal logging, mengeliminasi regulasi yang berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi, membantu penetrasi ekspor serta kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat.
Insentif Bagi Pembangunan Hutan Tanaman
Intinya Siapkan Prakondisi
Memang sangat bagus Revitalisasi Industri Kehutanan ini, sebagai program prioritas, namun ada yang masih mengganjal. Paling tidak ada dua hal yang terasa agak membingungkan, yaitu ; Pembangunan Hutan tanaman dan Peningkatan Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu. Departemen Kehutanan agaknya lupa bahwa kegiatan serupa yang dulu pernah dilakukan pada Masa Pembangunan Nasional menganut pola PELITA. Waktu itu ada program reboisasi dan penghijauan yang outputnya kurang lebih sama dengan pembangunan hutan tananaman berbasis masyarakat. Dalam program penghijauan itu ada pula program hutan kemasyarakatan yang diantaranya mengembangkan hasil hutan non kayu semacam lebah madu, rotan dan sebangsanya. Sah-sah saja membuat program yang konon prioritas, tetapi lebih penting lagi adalah suatu program harus didukung oleh rakyat sebagai subyek sekaligus obyek yang menerima dampak pembangunan.
Salah satu penyebab kurang mulusnya kegiatan hutan rakyat adalah; petani dihadapkan pada kesulitan memenuhi prosedur administrasi ketika kayu hasil budidayanya akan dijual. Mereka harus melaporkan rencana pemanenan, dilakukan inventarisasi oleh petugas kehutanan, membuat kontrak jual beli jika kayu akan dibeli oleh Industri Perkayuan. Untuk birokrasi mungkin wajar saja, tetapi bagi petani menjadi urusan yang rese , dan disinsentif. Tanpa berprasangka buruk sebelumnya, banyaknya aturan juga berpeluang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hal ini sedikit banyak menurunkan minat petani menanam kayu. Sementara untuk Hasil hutan non kayu, baru rotan yang sudah mengalami proses produksi di dalam negeri. Proses industri lanjutan yang dilakukan di dalam negeri kalaupun ada baru berupa meubelair, lampit atau barang kerajinan.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana mewujudkan pilar agar betul - betul menggerakkan sektor riil di bidang Kehutanan. Ada baiknya kali ini kita tinjau dari sudut Pelayanan Publik sebagai salah satu faktor yang akan mempengaruhi investasi.
Di Negeri kita, Indonesia, krisis berkepanjangan sejak 1997 telah menghempaskan bangsa ini hingga ke titik nadir. Hampir seluruh sendi kehidupan tidak dapat berkelit dari badai ini tak terkecuali Kehutanan. Sektor yang penah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional dan andalan ekspor non migas selama hampir tiga puluh tahun, semakin merosot kontribusinya. Keinginan mengembalikan posisi penting itu yang mendasari upaya Departemen Kehutanan mengambil langkah Restrukturisasi atau Revitalisasi Kehutanan. Sebelumnya SBY telah mencanangkan Revitalisasi Sektor Pertanian Perikanan dan Kehutanan pada 11 Juni 2007.
Tidak terbantahkan pentingnya Revitalisasi Sektor Kehutanan khususnya industri kehutanan. Kembalinya kondisi sebagai pendukung utama perekonomian nasional memang semestinya harus menjadi tekad bersama. MS Kaban menyatakan bahwa Revitalisasi Sektor Kehutanan akan menyangkut; Pengembangan hutan tanaman , Pengembangan Hasil Hutan Non kayu dan Jasa Lingkungan. Harapan besar dari program prioritas ini adalah mewujudkan Industri perkayuan yang produktif, efisien, ramah lingkungan, berdaya saing tinggi di pasar global serta lebih penting lagi ; sumberdaya hutan yang lestari.
Pembangunan Hutan Tanaman yang didasari kemitraan Industri dan masyarakat, memangkas penggunaan kayu hutan alam sebagai pemasok bahan baku utama industri perkayuan, meningkatkan pemanfaatan hasil hutan non kayu serta ecotourism agaknya menjadi pilar Revitalisasi Sektor Kehutanan. Andaikan seluruh pilar model Kaban ini berhasil, maka Indonesia akan mempunyai prasyarat yang memadai untuk Revitalisasi Industri Kehutanan. Bahan baku tersedia, Bidang Usaha Sektor Kehutanan tidak melulu kilang kayu, kelembagaan ada, investor antri, sungguh menjanjikan !. Mencermati hal tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa pelaksanaan pilar- pilar terbut pada intinya menyangkut faktor investasi, pasar, ekonomi serta politik.
Bukan Obat Mujarab
Adalah kekeliruan besar, jika kita menganggap Revitalisasi Industri akan menjadi obat mujarab untuk menyehatkan seluruh kinerja Industri Kayu di Indonesia. Alangkah bijaksananya, andaikan kita dengan rendah hati belajar pada kaidah ; different post for different purpose ( dalam bidang ekonomi), satu obat untuk satu keluhan (kedokteran) dan entah apa lagi. Jadi, tidak ada solusi one for all. Permasalahan yang kompleks dalam Industri Kehutanan menghendaki macam-macam terapi sesuai gejala yang muncul.
Penyehatan Industri Kehutanan yang telah telanjur terpuruk , tentunya menghendaki macam-macam obat sesuai masalah yang pokoknya. Ada beberapa aspek pokok yang mendesak disehatkan paling tidak menyangkut; aspek internal dan eksternal. Aspek Internal yang melekat dan berada dalam kontrol perusahaan ; effiensi, diversifikasi , manajemen. Aspek Eksternal yang berada dalam kontrol pemerintah dan sistem pasar yang tengah berlaku; potensi sumber bahan baku, peraturan perundangan dan layanan pemerintah serta kondisi pasar lokal, regional dan global. Jelaslah, untuk menyehatkan Industri Kehutanan, Departemen Kehutanan mestinya jangan memaksakan diri bersolo karir , mesti bekerja bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait yang lintas sektoral. Pihak –pihak itu harus menyumbangkan obatnya.
Beberapa alternatif dapat dikemukakan disini, terutama yang ada dalam domain pemerintah adalah; bagaimana memberikan insentif bagi kelanjutan pembangunan hutan tanaman dan pelaku usaha industri yang telah memenuhi kriteria tidak terlibat illegal logging, mengeliminasi regulasi yang berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi, membantu penetrasi ekspor serta kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat.
Insentif Bagi Pembangunan Hutan Tanaman
Intinya Siapkan Prakondisi
Memang sangat bagus Revitalisasi Industri Kehutanan ini, sebagai program prioritas, namun ada yang masih mengganjal. Paling tidak ada dua hal yang terasa agak membingungkan, yaitu ; Pembangunan Hutan tanaman dan Peningkatan Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu. Departemen Kehutanan agaknya lupa bahwa kegiatan serupa yang dulu pernah dilakukan pada Masa Pembangunan Nasional menganut pola PELITA. Waktu itu ada program reboisasi dan penghijauan yang outputnya kurang lebih sama dengan pembangunan hutan tananaman berbasis masyarakat. Dalam program penghijauan itu ada pula program hutan kemasyarakatan yang diantaranya mengembangkan hasil hutan non kayu semacam lebah madu, rotan dan sebangsanya. Sah-sah saja membuat program yang konon prioritas, tetapi lebih penting lagi adalah suatu program harus didukung oleh rakyat sebagai subyek sekaligus obyek yang menerima dampak pembangunan.
Salah satu penyebab kurang mulusnya kegiatan hutan rakyat adalah; petani dihadapkan pada kesulitan memenuhi prosedur administrasi ketika kayu hasil budidayanya akan dijual. Mereka harus melaporkan rencana pemanenan, dilakukan inventarisasi oleh petugas kehutanan, membuat kontrak jual beli jika kayu akan dibeli oleh Industri Perkayuan. Untuk birokrasi mungkin wajar saja, tetapi bagi petani menjadi urusan yang rese , dan disinsentif. Tanpa berprasangka buruk sebelumnya, banyaknya aturan juga berpeluang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hal ini sedikit banyak menurunkan minat petani menanam kayu. Sementara untuk Hasil hutan non kayu, baru rotan yang sudah mengalami proses produksi di dalam negeri. Proses industri lanjutan yang dilakukan di dalam negeri kalaupun ada baru berupa meubelair, lampit atau barang kerajinan.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana mewujudkan pilar agar betul - betul menggerakkan sektor riil di bidang Kehutanan. Ada baiknya kali ini kita tinjau dari sudut Pelayanan Publik sebagai salah satu faktor yang akan mempengaruhi investasi.
Comments