QUO VADIS INDUSTRI KAYU LAPIS
Saat ini dunia tengah berusaha berkelit dari krisis ekonomi global. Krisis yang bermula dari sektor property di Amerika Serikat sejak kuartal keempat tahun 2008 telah mempengaruhi perekonomian diseluruh Eropa, dan negara -negara maju di Asia seperti Jepang dan Korea. Akibatnya, beberapa sector ekonomi berbasis ekspor di negara berkembang telah mulai merasakan dampaknya. Sektor Industri di negara dunia ketiga yang memproduksi barang ekspor untuk memasok permintaan pasar Eropa dan Amerika Serikat mulai menghadapi kelesuan dan penurunan permintaan. Lesunya perekonomian akibat krisis ini juga menyebabkan peningkatan pemutusan hubungan kerja, peningkatan jumlah pengangguran dan tertundanya jadwal pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.
Tertundanya pelaksanaan proyek pembangunan khususnya industri property dan perumahan berakibat langsung pada menurunnya permintaan barang- barang produk kayu dari negara -negara penghasil kayu khususnya Asia dan Afrika. Tidak terkecuali Indonesia. Data pada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan Catur Wulan Pertama Tahun 2009 tercatat ekspor produk olahan kayu ke negara negara Eropa , Asia dan Amerika dari Kalimantan Selatan hanya 25.292 US $ atau turun 33,63 % dari periode yang sama tahun 2008 sebesar 38.105,00 US $. Gejala yang amat meyakinkan untuk segera diambil langkah-langkah strategis secepatnya. Kondisi ini dapat terus membenamkan kinerja ekspor produk olahan kayu manakala kondisi perekonomian di negara importir belum pulih.
Sepuluh tahun terakhir komoditi kayu olahan dan turunannya masih bertumpu pada jenis plywood. Dominasi plywood pada ekpsor kayu olahan Kalimantan Selatan mencapai 86,45 % diikuti moulding sebesar 9,44 %, blockboard 3,57 % dan fancy 0,54 %. Komoditi ekspor yang tekonsentrasi pada jenis plywood ini harus diakui memperburuk kinerja ekspor industri pengolahan kayu disamping problem kelangkaan bahan baku yang belum terselesaikan hingga kini. Industri yang terlanjur meraksasa karena dukungan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melimpah dan murah dimasa lalu menggiring industri kayu sebagai industri raksasa yang lamban dan sulit bersaing di pasar global.
Tumbangnya industri raksasa sebagaimana badan-badan lain yang strategis mempunyai dampak yang luas. Akibat yang ditimbulkan tidak melulu pada sektor industri tetapi sektor sektor lain seperti transportasi, tenaga kerja, property dan informal pun terpengaruh. Celakanya, kantong-kantong industri pengolahan kayu di daerah harus pula menanggung ongkos sosial yang tidak sedikit karena harus ‚memadamkan api‘ akibat Pemutusan Hubungan Kerja.
Penurunan permintaan produk olahan kayu dari negara maju di Eropa dan Amerika
Sejak 1980 produk kayu olah khususnya plywood memang berorientasi ekspor. Nurrochmat dan Tiyana (2000) menyatakan 90 % produk total kayu lapis indonesia diperuntukkan bagi pasar ekspor. Indonesia memasok 60 % kebutuhan kayu lapis dunia. Harus diakui dengan segenap kekurangan dan kebihannya peran Badan Pemasaran Bersama (BPB) cukup besar dalam mendudukkan Indonesia sebagai produsen plywood yang disegani didunia. Setelah lembaga ini dilikuidasi sebagai komitmen Indonesia selaku pasien IMF yang tidak berdaya kayu lapis Indonesia segera mengalami kemerosotan dominasi di pasar internasional.
Riset pasar dan pembentukan kembali sistem pemasaran bersama yang mewakili kepentingan industri kilang kayu nasional agaknya menjadi kebutuhan yang mendesak. Ibarat kapal yang tengah miring tidak bisa hanya dilempari ban tapi perlu kapal pula yang lebih besar. Efisiensi bahan baku dan percepatan pemabangunan hutan tanaman sebagai pendukung raw material serta insentif bagi pengusaha yang tidak menggunakan kayu illegal perlu segera dilakukan (end)
Comments