REVITALISASI SETENGAH HATI?
Salah satu program prioritas Departemen Kehutanan adalah Revitalisasi Sektor Kehutanan. Ini berkaitan dengan penyehata kembali peran sub sektor kehutanan dalam perekonomian nasional. Revitalisasi sektor kehutanan lebih difokuskan pada industri kehutanan. Jelasanya , menempatkan kembali industri kehutanan pada kondisi terbaik yang semestinya.Namun sampai kabinet Indonesia Bersatu telah menjadi berjilid dua tidak tampak berlangsung seperti yang diharapkan.
Mengapa Revitalisasi ?
Setelah sub sektor kehutanan selama tiga dasawarsa orde baru menjadi penopang utama perekenomian nasional, keadaannya kini tak lagi bak gadis cantik yang dilirik semua orang. Ia seperti orang jompo yang tak seorangpun ingin memerliharanya. Berat diongkos, hanya karena malu sama tetangga atu takut disebut durhakan saja barang kali orang masih memeliharanya. Tahun enampuluhan ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi hebat, pemerintah masa itu mengambil kebijakan memanfaatkan hutan untuk modal pembangunan. Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok –pokok Kehutanan bisa dikatakan sebagai ibu bagi lahirnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Mulailah eksploitasi hutan besar-besaran terutama di luar Jawa. Ekonomi memang tumbuh mencengangkan 6- 7 % pertahun. Itulah masa yang dianggap sebagai „top performance“sub sektor kehutanan. Tetapi seperti umumnya dunia ketiga yang mendewakan pertumbuhan ekonomi, Indonesia terjebak pada penyakit pertumbuhan yakni ekonomi dinikmati segelintir kelompok saja. Ketika krisis 1997/1998 perekonomian yang mencengangkan itu tak mampu bertahan, sementara sumberdaya hutan telah pula tak tersisakan.
Peran sub sektor kehutanan sebagai tulang punggung perekonomian makin mengalami penurunan yang signifikan. Kontribusi sub sector kehutanan terhadap Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia < 4%. Sejak tahun 1993 sampai dengan 2005 peranan sub sektor kehutanan dalam pembentukan PDB Indonesia terus menurun dari waktu ke waktu. Rata-rata kontribusi sub-sektor kehutanan terhadap PDB kurang dari 2% (Suparmoko dan Nurrochmat, 2005).
Tahun 2002, dimana pengelolaan kegiatan industri primer pengolahan hasil hutan seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, dan veneer dialihkan ke Departemen Kehutanan dari Departemen Perindustrian, belum mampu meningkatkan sumbangan sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB. Banyak factor penyebab menurunnya peran sub sector kehutanan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, diantaranya ; tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan, illegal logging dan illegal trading dan daya saing produk berbahan baku kayu di pasar internasional. Sedangkan dari sisi produksi barang menunjukkan rendahnya nilai tambah ( added value) produk berbahan baku kayu sebagai output industri pengolahan kayu yang ada.Dengan meminimalisir efek pengurasan sumberdaya alam, revitalisasi ini diharapkan akan mendudukkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian yang berbasis lingkungan.
Permasalahan yang membelit pelaksanaan program revitalisasi tidak sedikit bahkan menjadi isu global yang tidak jarang menjadi konsumsi politik praktis. Dengan mereduksi efek politis praktis tersebut, permasalahan inti revitalisasi sub sektor kehutanan itu sendiri sudah sangat luas yang meliputi :
- On forest, kondisi hutan alam yang yang mendapat tekanan berat dari aspek sosial ekonomi, demographis dan ekologis menyebabkan merosotnya luasan hutan berikut produksinya;
- Off forest, kinerja industri kilang kayu yang tidak efisien dan bernilai tambah rendah sulit bersaing di pasar global;
- Global issue, menguatnya issue kerusakan hutan alam akibat industrialisasi di negara berhutan tropis
Permasalahan yang sangat mendasar tersebut dalam konteks yang lebih sempit di Indonesia khususnya segi off forest, dapat didekati melalui identifikasi permasalahan pokok sebagai berikut:
- Kelangkaan bahan baku industri
- Rendahnya Nilai Tambah Produk
- Aspek pemasaran
Setengah hati
Departemen Kehutanan telah menetapkan pembangunan Hutan Tanaman Industri sejak tahun 1989. Untuk menarik minat swasta Pemerintah memberikan kredit dengan bunga 0(nol) persen pertahun dari Dana Reboisasi (DR) bahkan penyertaan modal pemerintah pada perusahaan patungan. Setelah dua puluh tahun berselang, ternyata program ini tidak menunjukkan perannya bagi kelanjutan peran Sub Sektor Kehutanan dalam perekonomian nasional. Kekurangan bahan baku industri sama sekali tidak mampu dipenuhi oleh hasil produksi HTI, sementara hutan alam semakin rendah pasokannya .
Dapat dipastikan bahwa kebijakan prioritas Revitalisasi Industri yang dilaksanakan tidak mempunyai kaitan yang massive terhadap program lainnya. Terbukti dari kegagalan HTI memasok bahan baku, sementara revitalisasi belum menunjukkan keseriusan untuk menangani aspek sumber bahan baku. Dilain pihak pembangunan HTI pada awalnya tidak menunjukkan minat serius pada produk industri yang akan dihasilkan. Semua jenis yang diusahakan didominasi oleh jenis fast growing species. Jenis ini lebih cocok untuk industri pulp dan kertas, sedangkan revitalisasi yang mendesak saat ini lebih bertumpu pada produk kayu lapis dan sawn timber yang menghendaki bahan baku bermutu tinggi. Produk ini menghendaki kayu bermutu sekelas kayu hutan alam.
Mempersempit celah pembangunan kehutanan yang diprogramkan pada masa lalu dengan prioritas program Revitalisasi Kehutanan, dapat diambil pilihan kebijakan pengelolaan Industri Kehutanan sebagai berikut :
- Mempercepat pembangunan hutan tanaman yang cocok berkelas industri
- Menggeser peran industry kayu menjadi industry lain yang less wood
- Memperbaiki riset produk dan riset pasar (end)
Comments