KELANGKAAN AIR BERSIH, SEHARUSNYA TIDAK TERJADI DI KALSEL
Oleh : MUNANDAR
Banjarmasin berjuluk kota Seribu Sungai. Agak membingungkan, ketika penghujung tahun 2009 lalu, Tv One dan beberapa koran lokal mengabarkan perihal kelangkaan air bersih di Banjarmasin dan sekitarnya. Warga desa Bakambat, Tanipah dan Sungai Musang Kecamatan Aluh Aluh, Kabupaten Banjar harus merogoh kocek Rp.25.000,- untuk mendapatkan satu drum air sungai. Kemana perginya „ sumber kehidupan“ itu?.
Ketiga daerah tersebut terletak di pesisir pantai selatan Kalsel, sekitar muara Sungai Barito. Puncak musim kemarau Agustu- Oktober adalah musim paling kering di wilayah ini. Sungai Barito yang biasa menjadi pemasok air satu-satunya bagi warga di daerah tersebut telah berubah asin.Tak seorang pun dapat menjamin bahwa warga pesisir itu dapat mengkonsumsi air bersih dari Sungai Barito pada selain musim kering. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) konon tak mampu melebarkan sayap hingga ke wilayah itu, sementara bersama aliran Sungai Barito terlarut pula zat-zat pollutan dan pencemar. Demikian pula sumur-sumur gali, dipastikan semua asin karena intrusi air laut telah begitu intensif.
Interaksi manusia di sepanjang DAS Barito, dimana urat nadi perekonomian bersambung dari hulu Kalimantan Tengah sampai dengan hilir di laut Jawa, adalah beban tersendiri yang harus dipikul oleh sungai ini. Sementara paling sedikit ada lima daerah bergantung langsung pada Barito, yakni Kota Banjarmasin, Kabupaten Barito Kuala, Barito Selatan, Barito Utara, dan Murung Raya. Beberapa anak Sungai Barito menjadi jalur ekonomi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Kapuas, dan Barito Timur. Melalui Pelabuhan Tisakti, arus barang dan jasa keluar masuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, menjadi sarana utama angkutan yang paling murah. Begitu padatnya beban yang harus dipikul oleh lingkungan kawasan ini.
Intensifnya dinamika kehidupan tidak dapat dipungkiri telah memberi dampak tertentu pada aliran sungai. Daya dukung sungai Barito, dapat dipahami, dalam tanda kutip, adalah penghapus dosa lingkungan kita semua. Perilaku sebagian warga masyarakat yang merugikan, merujuk Soendjoto (2009), tidak ada proses pengolahan ramah lingkungan yang menyaring limbah dan menjadikan air relatif bersih sebelum dibuang ke sungai. Aspek ekologi dalam pemanfaatan wilayah sungai, menyangkut timbal balik mahluk hidup dengan lingkungan khususnya sungai cenderung kurang bijaksana. Penggunaan lahan yang intensif untuk pemukiman dan pengembangan kawasan di daerah resapan bagian hilir. Pada pemanfaatan lahan bagian hulu dan pengelolaan sungai menyebabkan; rusaknya DAS akibat penebangan hutan dan kegiatan lain, tingginya angka sedimentasi, pada musim hujan cenderung terjadi banjir namun dalam waktu relatif singkat air surut, pada saat musim kemarau air sungai surut dan terjadi kekeringan, menurunnya kualitas air akibat terkontaminasi bahan kimia dan minyak serta intrusi air laut;
Keruh di hulu benang kusut di hilir
Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito sepanjang 900 km dan lebar rata-rata 500 meter melintasi Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Selatan. DAS Barito khususnya yang mengaliri Provinsi Kalimantan Selatan merupakan induk dari sungai sungai lain seperti sungai Riam Kanan, Sungai Martapura, Sungai Riam Kiwa, Sungai Tapin dan sunga-sungai kecil di sekitarnya. Kawasan ini juga merupakan wilayah dengan kerapatan terpadat di Kalimantan Selatan. Sebagai kota pelabuhan dan pusat kegiatan perekonomian, Banjarmasin dan Kabupaten/Kota lain didekatnya mengalami desakan penggunaan lahan untuk sarana prasarana pembangunan. Wilayah sekitar Kecamatan Gambut dan pinggiran Kota Banjarmasin mulai dialih fungsikan untuk kegiatan perdagangan dan pemukiman. Desakan penyediaan infra struktur sebagai pendukung kebijakan makro perekonomian memaksa pemerintah daerah membangun sarana prasarana yang sebelumnya merupakan daerah resapan. Pembangunan terminal induk KM 17 dan pembangunan jalan lintas Banjarbaru-Marabahan adalah contohnya.
Penimbunan rawa gambut untuk membangun jalan menyebabkan aliran pasang surut di awasan ini terhambat. Terhambatnya aliran pasang surut menyebabkan permasalahan tersendiri. Lahan rawa gambut secara ekologis mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya menjadi terbuka dan rawan kerusakan. Secara ekologis keberadaan hutan rawa mempunyai fungsi dan manfaat sebagai sebagai sumber cadangan air, hutan rawa dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering. Fungsi lain ; pelindung lingkungan ekosistem daratan dan penyerap CO2 dan penghasil O2, sumber bahan makanan nabati dan hewani dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian penduduk sekitarnya. Beberapa pihak telah mengemukakan pemikiran perlunya sebuah kebijakan pengelolaan lahan rawa gambut di Kalimantan Selatan. Hal ini dilandasi kehawatiran rusaknya lahan bergambut yang makin parah akibat pemanfaatan flora pohon jenis galam (Melaleuca cajuputi) secara tidak terkendali (Munandar dan Rini Hartati, 2010). Kerusakan rawa gambut menyebabkan merosotnya pasokan air tawar ke sungai tidak mampu mengurangi kadar garam saat air laut pasang.
Di wilayah hulu, sebagai daerah tujuan investasi di sub sektor perkebunan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, tingkat penggunaan lahan sangat intensif. Konsekuensi yang timbul akibat penggunaan lahan untuk pertanian dan perkebunan menyebabkan tingginya tingkat sedimentasi yang memperdangkal aliran sungai Barito. Penebangan hutan illegal dan penambangan tak terkendali, rehabilitasi hutan dan daerah aliran sungai yang belum memadai masih terus berlangsung. Bukan hanya rakyat di sepanjang sungai itu yang menderita akibat banjir, semuanya ikut merugi ketika terjadi pendangkalan. Diperkirakan setiap hari sedimentasi mencapai 11.000 hingga 12.000 meter kubik. Angka sedimentasi yang ditoleransi oleh Departemen Kehutanan melebihi adalah (15 ton/ha/th)
Pemerintah pusat membutuhkan dana Rp 26 miliar untuk penanganan pendangkalan alur Sungai Barito untuk pengerukan awal sebagai upaya mengatasi pendangkalan pada musim kemarau (Tempo interaktif 12/5/2006) Upaya selanjutnya, pemerintah provinsi yang bekerjasama dengan investor dari Belanda melakukan pengerukan alur sungai Barito. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjamin kelancaran operasional pelabuhan dan memperlancar arus lalu lintas pelayaran di sungai Barito.
Dilain pihak kawasan hilir sungai Barito dimana aktivitas budidaya pertanian yang utamanya memproduksi komoditas padi sawah, sangat tergantung kepada aliran air. Keperluan air untuk jenis padi dan komoditas lainya sangat tinggi. Dukungan irigasi untuk mendistribusikan sumberdaya air telah diawali sejak pra kemerdekaan dan terakhir ditingkatkan dengan membangun irigasi Riam Kanan yang memanfaatkan aliran sungai Riam Kanan. Sementara itu karakteristik masyarakat lokal di wilayah ini yang bermula dari budaya kehidupan sungai, mulai dipengaruhi budaya kehidupan darat. Percampuran pola kehidupan sungai dan darat tidak dapat dihindari dengan semakin terbukanya arus komunikasi. Meskipun moda trasnportasi air hingga saat ini terhitung lebih murah, namun kecenderungan beralih ke transportasi darat semakin menguat. Pola rumah panggung yang memungkinkan lancarnya arus pasang surut diganti rumah beton diatas timbunan yang biasa digunakan pada konstruksi rumah di daratan. Pertumbuhan penduduk di kawasan ini memberikan konsekuensi meluasnya pemukiman dan kebutuhan fasilitas ekonomi dan fasilitas umum. Semua pengadaan fasilitas tersebut memerlukan lahan yang tidak sedikit. Kebutuhan lahan untuk membangun pemukiman dan fasilitas umum tidak selamanya memperhatikan keselarasan lingkungan. Pembangunan lahan pemukiman dan fasilitas umum sering dilakukan dengan menimbun rawa dan bantaran sungai.
Tiga zona konservasi yang penting
Pemanfaatan sungai bermakna perubahan dalam ekosistem yang muaranya pada seluruh jaringan kehidupan. Pendekatan ekosistem akan mencegah efek samping yang merugikan. Kerugian ini pada dasarnya adalah ongkos yang harus dipikul oleh masyarakat. Manusia sebagai perencana, pelaksana dan penerima dampak pembangunan serta lingkungan yang menopang kehidupan, tindakan mengeliminasi dampak buruk pembangunan perlu segera dilakukan. Semua pihak harus berpikir integral, DAS tidak dapat dikelola partial dari hulu sampai ke hilir.
Beberapa alternatif dapat ditawarkan, tiga zona konservasi perlu mendapat perhatian serius untuk mengeliminasi dampak buruk pembangunan di kawasan rawa bergambut dan sekitarnya. 1) pemulihan kawasan hulu ; reboisasi dan konservasi kawasan lindung, batasi pengolahan lahan intensif /mekanik, 2) konservasi lahan rawa gambut; optimalkan revegetasi agar air hujan tidak serta merta dibuang ke laut melalui aliran sungai dan darnase, tapi sebagian dapat ditahan oleh resapan vegetasi dan tanah 3) konservasi kawasan pantai dan estuaria; penanaman kembali hutan mangrove di sepanjang pantai dan pulau-pulau kecil di muara sungai Barito.
Bahan Bacaan
Hadihardja, Joetata.(1990)Sungai sebagai Sumberdaya Air berkaian dengan
Pembangunan nasional memasuki Abad XXI. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Teknik Sipil Univeritas Diponegoro.
Munandar dan Rini Hartati (2010). ForestView.Peraturan Daerah Provinsi Tentang
Konservasi Lahan Rawa Galam Di Kalimantan Selatan, Suatu Keharusan
(Sebuah Tinjauan Ekologis). http://mounandar.blogspot.com
Tempointeraktif, (2006). Pemerintah pusat membutuhkan dana Rp 26 miliar untuk penanganan pendangkalan alur Sungai Barito.http://www.tempointerkatif.com
Soendjoto, M. A dan Maulana Khalid Riefani (2009). Merindukan Alam Asri Lestari: Air...Air...Air.Universitas Lambung Mangkurat Press.Banjarmasin
Comments