TAMAN WISATA ALAM PULAU BAKUT KALIMANTAN SELATAN ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN


Oleh :
MUNANDAR dan ANNOOR ROSYDHIYAH
  
Taman Wisata Alam  Pulau Bakut pernah digadang-gadang sebagai obyek wisata penarik devisa sekaligus tindakan konservasi flora dan fauna di Kalimantan Selatan. Sungguh suatu beban berat yang harus dipikul oleh Pulau Bakut, sebuah delta kecil di sungai Barito ini.  Pulau di tengah aliran sungai Barito itu, kini  kondisinya menjadi dilematis. Di Pulau tersebut menancap tiang Jembatan Barito yang menghubungkan Kalimantan Selatan dengan kalimantan Tengah melalui darat.Terletak di tengah padatnya lalulintas pelayaran barang dan jasa, dilintasi hiruk pikuk kendaraan di atas jembatan 1,2 Km (terpanjang ke 2 di Asia Tenggara), namun diharapkan mampu  berperan sebagai  salah satu penjaga keragaman kekayaan hayati yang masih tersisa.  
Di dalam kawasan   seluas kurang lebih 18,70 hektar itu hidup bekantan ( Nasalis larvatus)  primata endemik Kalimantan yakni jenis kera berbulu kemerahan berhidung panjang,  buaya sapit (Tomistoma schlegelii), elang bondol (Haliastur indus), elang laut perut putih (Heliaeetus leucogaster), raja udang (Pelargopsis capensis), burung madu kelapa (Anthreptes malacensis), dan lain-lain. Berbagai  flora dapat ditemui diantaramya; jingah (Gluta renghas), rambai (Sonneratia caseolaris), panggang (Ficus retusa), nyirih (Xylocarpus granatum), kelampan (Carbera manghas), waru (Hibiscus tiliaceus), kayu bulan (Fragraea erenulata), putat (Baringtonia asiatica), nipah (Nypa fructicans), pandan (Pandanus tectorius), jeruju (Acanthus ilicifolius), piai (Acrostichum aureum), bakung (Crinum asiaticum L), eceng ( Eichhornia crassipes Solms), keladi (Colocasia esculentum ) dan lain-lain.
Posisi Pulau Bakut terletak pada jalur lalulintas sungai dimana bermacam pabrik beroperasi. Tidak heran,  jika pulau Bakut seperti seperti kue terakhir yang dikerumuni orang lapar. Siapa cepat ia dapat. Kawasan perairan Sungai Barito memang dikenal sebagai tempat  berbagai industri besar membangun pabriknya. Aliran sungai menjadi pilihan utama transportasi karena murah. Syahwat ekonomi pada berbagai kalangan (birokrasi, swasta  bahkan politik) di era kejayaan kaum kapitalis saat ini memang terasa dominan. Pulau kecil semacam pulau Bakut dengan posisi strategis di tengah jalur transportasi murah, sangat menarik untuk lahan bermacam usaha. Entah dengan dalih wisata alam atau apa saja, dampaknya bisa sangat merugikan jika aspek ekonomi melenggang sendirian tanpa kontrol ekologi. Seberapa jauh upaya pihak-pihak terkait mengelola kawasan ini sehingga mampu  menyangga urat nadi perekonomian dan menjaga kekayaan hayati.Tulisan ini berupaya memotret kepedulian berbagai pihak terhadap keberadaan taman wisata alam terdekat dengan kawasan terpadat di Kalimantan Selatan.

Dari Open Access ke Taman Wisata Alam
Keputusan Menteri Kehutanan No.140/Kpts-II/2003 tanggal 21 April 2003 menetapkan kawasan ini sebagai Taman Wisata Alam. Sebuah langkah hukum yang tepat ditengah ekspansifnya penggunaan lahan saat ini.Keputusan tersebut memberi kepastian  status kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan open access (tanpa status). Status sebagai Taman Wisata Alam yang disandang   Pulau Bakut, memberi harapan peningkatan  pengunjung obyek Wisata Jembatan Barito yang dibangun Pemda Kabupaten Barito Kuala.Masyarakat  diberikan pilihan obyek wisata alam  hutan, flora dan fauna yang hidup dalam habitat aslinya. Pemandangan khas nan indah  dapat dinikmati dari ketinggian jembatan, maupun dari sampan klotok,  kemana diinginkan.
Ekosistem Pulau Bakut tergolong unik. Menilik vegetasinya tipe ekosistem Pulau Bakut dimana dominasi Sonneratia caseolaris sangat jelas, dapat digolongkan sebagai ekosistem hutan  bakau khas muara Sungai Barito (MacKinnon et al.2000).Tipe ekosistem tidak hanya secara berkala terendam aliran sungai dan arus pasang laut, namun disepanjang aliran sungai Barito di dekat Pulau Bakut juga terdapat ekosistem buatan.  Ekosistem buatan (manmade) yang ada di wilayah ini berupa, kawasan industri (kayu lapis, penggergajian kayu, lem, minyak kelapa) dan kawasan pemukiman (Soendjoto, 2002).
Mungkinkah sebuah kawasan yang menerima begitu banyak  pengaruh aktivitas manusia dapat menjalankan fungsinya menjadi kawasan konservasi?. Delta kecil berjenis  tanah aluvial yang terbangun dari endapan sedimentasi harus mendukung banyak ragam flora dan fauna yang satu diantaranya menjadi maskot Kalimantan Selatan.
Fenomena Pulau Kaget akan terulang?
Tahun 1996 ketika populasi pohon rambai (Sonneratia caseolaris) di kawasan Cagar Alam Pulau Kaget mengalami kekeringan dan mati. Mass media gempar.Populasi bekantan di kawasan itu terancam. Pasalnya, pohon rambai adalah pemasok makanan yang penting bagi si warik walanda tersebut. Soendjoto (2009) berpendapat, faktor utama penyebab kekeringan dan kematian rambai adalah pencemaran air dan limbah padat di kawasan itu. Demikian pula di kawasan Pulau Bakut. Kondisi lingkungan dan ekosistem yang mirip, tidak tertutup kemungkinan kasus serupa Pulau Kaget kembali terjadi. Alur sungai Barito yang disesaki lalu lalang tongkang memuat gunungan batubara, setiap saat menaburkan limbah pollutan. Kebisingan lalulintas jalur Kalsel-Kalteng membawa limbah debu dan polusi suara. Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industri, bahkan mungkin bahan kimia dari industri kayu lapis.Yang tidak dapat disepelekan pula, sampah, limbah rumah tangga dan bekas bungkus makanan bertebaran dengan bebasnya.
 Pencemaran dan polusi udara maupun suara tidak hanya mengubah kondisi lingkungan  tetapi mengganggu ketenangan satwa. Mahmud, sebagaimana dikutip Soendjoto (2009b) menyebutkan kegiatan manusia yang mengancam pelestarian bekantan di Pulau Kaget diantaranya; lalu lalang transportasi air, kebisingan bengkel kapal , pemukiman di dekat cagar alam dan polusi air serta sampah padat. Hiruk pikuk, kebisingan dan lalu lalang berbagai moda transportasi berpotensi mengganggu masa pembiakan primata yang dikenal pemalu ini. Selanjutnya bisa diduga regenerasi satwa ini akan sangat rendah.
Pengamatan terhadap vegetasi yang tumbuh di pulau, dapat digambarkan ; bagian tepi Timur dari tengah sampai ke Utara  didominasi oleh rambai (Sonneratia caseolaris), putat (Baringtonia asiatica). jingah (Gluta renghas) dengan tumbuhan bawah bakung (Crinum asiaticum L), eceng ( Eichhornia crassipes Solms) dan keladi (Colocasia esculentum ).Bagian Selatan banyak didominasi oleh putat ( Baringtonia asiatica), kayu bulan (Fragraea erenulata), nipah (Nypa fructicans), pandan (Pandanus tectorius), jeruju (Acanthus ilicifolius). Bagian tengah didominasi oleh  vegetasi semak belukar bermacam-macam species. Keberagaman yang tinggi di Pulau Bakut secara alamiah berpotensi timbulnya kepunahan jenis-jenis yang  hidup di kawasan itu. Ihwal kepunahan jenis pada kawasan secara alamiah, Soemarwoto (1983) menyebutkan faktor penting penentu cepatnya kepunahan jenis adalah kepadatan jenis. Semakin tinggi kepadatan jenis, makin cepat suatu  jenis mengalami kepunahan. Penyebabnya jelas, suatu jenis hanya menempati ruang yang sedikit karena bersaing dengan yang lain.Lebih jelasnya kepunahan vegetasi tertentu berpotensi terjadi dalam waktu yang tergantung pada banyak sedikitnya keragaman.
Flora pohon ditemui lebih sedikit dari pada flora golongan herba dan semak. Vegetasi semacam ini kurang menguntungkan bagi hunian satwa bangsa burung dan bangsa mamalia terutama primata bekantan.Jenis rambai (Sonneratia caseolaris) yang  lebih banyak tumbuh berkelompok di pantai timur Pulau Bakut menyisakan pertanyaan tersendiri. Apakah jenis rambai tidak mampu bertahan hidup di tengah pulau, atau bagian timur pulau lebih cocok sebagai habitat rambai?. Hal ini masih perlu di kaji lebih dalam. Permasalahan yang bagai api dalam sekan adalah seberapa jauh kemampuan daya tahan rambai di pantai timur itu menahan pencemaran. Jika dugaan sebagaimana dikemukakan Soendjoto benar, maka satwa bekantan dan burung penghuni Pulau Bakut terancam keberadaannya. Terlepas dari benar atau tidaknya kekhawatiran ini, yang paling penting dilakukan adalah mengupayakan sedini mungkin agar upaya konservasi sesuai kaidah ekologi dapat dilakukan. Tidak cukup dengan tulisan dan mengubah status saja tetapi perlu kerja nyata karena lingkungan memang tak bisa bicara. Manusia yang harus bisa membaca.
Alternatif yang bisa dilakukan
 Sebagai Taman Wisata Alam, campur tangan manusia untuk upaya konservasi memang dimungkinkan. Akan tetapi sampai saat ini belum tampak upaya konservasi dalam bentuk teknologi atau perlakuan tertentu disana, selain papan peringatan untuk tidak merusak kawasan yang warnanya sudah mulai kusam. Perubahan status menjadi taman wisata sebenarnya memberi peluang sekaligus tanggung jawab yang lebih besar kepada pihak-pihak terkait. Meminimalisir dampak polusi dan hiruk pikuk lalulintas di Jembatan Barito dapat dilakukan dengan memasang pot-pot yang ditanami pohon-pohon kecil sepanjang jembatan. Pohon –pohon itu akan menjadi sound absorber dan sekaligus menyerap pollutan dari asap kendaraan bermotor. Pada bagian sungai dikurangi penggunaan sampan klotok masuk ke dekat pulau. Perjalanan penjelajahan ke dekat pulau dilakukan dengan sampan kayuh. Selain mengurangi kebisingan juga memberi alternatif pekerjaan bagi masyarakat sekitar.Membangun fasilitas wisata alam dengan sedikit mungkin mengubah formasi tegakan, diantaranya dapat dilakukan dengan; membangun jembatan kayu jembatan gantung di seputar pulau, membangun stasiun pengamatan bird life watching, fishing area dan lain lain. Hal lain yang sangat mendesak adalah menerapkan kewajiban kepada pengguna aliran sungai untuk tidak membuang limbah di air, mewajibkan tongkang pengangkut batubara membayar biaya penetralisir pencemaran. Mungkinkah?


Comments

Popular posts from this blog

PULAI, TUMBUHAN OBAT DARI HUTAN

SAATNYA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN BERPERAN

CATATAN YANG TERSERAK