BU MENTERI, BEKANTAN DAN ORANGUTAN

( Sebuah renungan pendek )

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup melepas liarkan empat ekor bekantan (Nasalis larvatus)  Sabtu 18/2/2017 di sebuah delta kecil di tengah Sungai Barito Kalimantan Selatan. Acara seremonial itu seperti melonggarkan napas yang sesak ditengah santernya berita pembantaian orangutan (Pongo  pygmaeus ) oleh sekelompok karyawan perkebunan sawit di Kapuas. Pelepas liaran monyet belanda berhidung bangir itu diartikan sebagai upaya mengkonservasi satwa liar endemik Pulau Borneo.
Menteri LHK melepas liarkan Bekantan (Photo Radar Banjarmasin)

Sementara nasib orangutan  yang di dunia international sering disebut Bornean orangutan keadaannya sungguh sangat nelangsa. Pemerhati satwa liar yang dikutip Tempo online (2016) memperkirakan orangutan di Pulau Borneo ( Indonesia dan Malaysia) hanya tersisa kuräng lebih 100 ekor såja. Ditengarai  tahun 2025 akan punah. Hutan hujan tropik yang menjadi habitat orangutan sebagian sudah dikonversi menjadi  kebun sawit. Mereka terdesak ke arah kawasan yang masih banyak pohon besar untuk berlindung. Ketika sumber pakannya mulai berkurang mereka kembali mendatangi habitat lamanya yang sayang telah berubah menjadi larikan pokok-pokok sawit. Kawanan penjaga kebun mengganggap orangutan menyerbu layaknya hama, harus ditumpas.
Orangutan Kalimantan (Photo IUCN)
Entah karena daging sapi, kambing, kerbau harganya tak terjangkau, setelah dibunuh orangutan itu pun dimakan pula. Kejam ? Entahlah, terserah anda såja. Etnis tertentu di Kalimantan memang ada yang biasa mengkonsumsi jenis- jenis kera termasuk bekantan dan orangutan. Media ramai mewartakan,..."Indonesian orangutan killed and be eaten..." atau  “…orangutan hunt for meat …” dunia  pun terperangah karenanya. Kalangan tertentu bisa saja mengipas-ipasi, menjadikan berita ini untuk menekan pihak lain dengan tujuan tertentu. Setali tiga uang, nasib bekantan tak kalah mengenaskan. Keberadaan satwa ini menyusut tajam dalan 30 tabun terakhir.  International Union for Conservation Nature (IUCN) sejak 2008 dalam redlistnya telah menggolongkan monyet ini ke dalam status endangered  atau genting.  Populasinya  merosot hingga mencapai 40 % tiap tahunnya.

Akan halnya dengan Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kiranya pelepas liaran bekantan tidak menjadi sarana berhura-hura layaknya selebrita yang mengiklankan produk kosmetika. Semoga bukan perang media semata. Jika itu yang terjadi alangkah ironisnya.  Orang-orang dengan kesadaran sempurna, meyakini siapa yang menguasai media, dia lah yang menguasai dunia. Siapa yang eksis di media massa, mampu membentuk opini dunia. Manusia memakan orangutan,  tentu sebuah berita , latar belakangnya  bisa karena sensasinya atau ungkapkan keprihatinan akan kemanusiaan.  Berita pelestarian alam bisa jadi adalah amunisi pihak tertentu untuk mempengaruhi opini global. Indonesia semakin tidak becus mengurus hutan, lalu di pergaulan dunia makin lemah nilai tawarnya. Sebagai good boy, selama ini Indonesia memang dikenal patuh membayar utang luar negerinya. Sebagai pengutang yang setia, dengan nilai tawar yang rendah amat mudah diapa-apain kebijakan ekonominya sesuai keinginan pemodal. Sementara yang menjadi obyek berita tak persah berubah nasibnya. Sang bekantan tetap rentan kepunahan dan Sang Orangutan   akan tinggal menjadi catatan di buku-buku sekolahan.  

Comments

Popular posts from this blog

PULAI, TUMBUHAN OBAT DARI HUTAN

SAATNYA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN BERPERAN

CATATAN YANG TERSERAK